Habis Gelap Terbitlah Terang

 “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Kalimat yang pernah dilontarkan RA Kartini tersebut bergitu terngiang di kepala ini.

    Begitupun untaian kalam Allah SWT pada QS Al-Insyirah yang seringkali menjadi acuan motivasi bagi umat muslim ketika tertimpa masalah.

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ

 Fa inna maal-usri yusra. “Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan”

    Kalimat tersebut merupakan salah satu janji Allah untuk umatnya yang bersabar dalam menghadapi ujianNya. Tuhan yakinkan bahwa manusia tidak hanya diberikan kesulitan, namun Ia juga sudah menyiapkan hal lain yang lebih indah dari apa yang bisa kita duga sebagai manusia.

    Saya adalah salah seorang yang sering lupa akan janji Allah tersebut. Terlebih ketika terjadi masalah dalam perencanaan hidup yang saya buat. Suatu ketika saat masalah itu datang, pikiran ini berkecamuk memunculkan ego dan kemarahan pada diri sendiri. Hal ini terjadi tahun 2022 lalu. Pandemi covid usai, namun masalah yang ditimbulkannya belum tertangani. Ekonomi melemah, banyak perusahaan di Indonesia melakukan perampingan karyawan, bahkan gulung tikar. Nyatanya, musibah itu juga harus dilewati oleh perusahaan temapat saya bekerja. Sebuah perusahaan unicorn yang banyak menjadi perbincangan akibat inovasinya, multiplier effectnya, dan banyak hal positif lainnya. Ya, perusahaan ini juga harus melakukan perampingan karyawan dan saya adalah satu diantara ratusan lain yang terkena imbasnya. Marah? Kecewa? Menyalahkan diri sendiri. Tentu. Betul, saya lupa akan janji Allah tadi.

    Saya pernah menganalisis faktor-faktor yang mungkin jadi penyebab saya menjadi karyawan yang terdampak perampingan, misalnya apakah target penjualan pribadi, prestasi, komunikasi, dan jumlah cuti melahirkan yang saya ambil 2 tahun terakhir. Qadarullah tahun 2021 dan 2022 saya melahirkan 2 anak laki-laki dan perempuan sehingga saya perlu untuk berhenti sejenak dari pekerjaan. Faktor terakhir ini terus menjadi beban pikiran saat itu. Andai saja begini, andai saja begitu, mungkin hal ini dan itu tidak perlu terjadi. Saya terus menyalahkan diri sendiri, padahal lagi-lagi Allah sebenarnya sedang memberikan berkah bagi keluarga kami.

    Layaknya seorang pasien yang sedang menghadapi kesedihan saat diinformasikan mengenai penyakit yang dideritanya, saya juga mengalami 5 tahapan menghadapi kesedihan (The Five Stages of Grief) yang dikenalkan oleh Elisabeth Kübler-Ross pada tahun 1969. Tahapan tersebut dimulai dari penyangkalan (denial), marah (anger), menawar (bargaining), depresi (depression), dan diakhiri dengan penerimaan (acceptance). Faktor-faktor penyebab yang ada dalam pikiran saya merupakan bentuk denial. Sempat saya berpikir mengapa saya tidak ditawari pekerjaan di bidang lain sebelum perusahaan memutuskan perampingan, namun pihak HR tetap saja melayangkan surat pemutusan hubungan kerja.

    Hari, minggu, dan bulan berlalu dan saya melewatinya dengan mengistirakatkan pikiran dan badan. Seringkali saya menghabiskan waktu dengan menonton film, menghabiskan banyak waktu menonton live di ecommerce, berbelanja, dan mengantar jemput anak sekolah dan les. Setelah malu sendiri menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan 😂, akhirnya saya mulai menata hati. Rupanya saya menemukan semangat baru diantara orangtua murid yang sering saya temui di sekolah anak saya. Mereka menguatkan hati dan menumbuhkan motivasi dengan menyadarkan saya bahwa sekaranglah waktunya saya menjadi teladan, guru, dan teman bagi anak-anak dan suami saya di rumah, seutuhnya. Saya bisa mengukir prestasi melalui keluarga ini. Akhirnya saya mulai menemani anak-anak berman dan belajar dengan intens. Memperhatikan asupan gizi bagi keluarga. Sementara saya terus belajar membersamai mereka untuk beribadah. Maka dengan sendirinya saya melalui proses acceptance dengan sangat menyenangkan. Saya rasa banyak kemajuan yang saya dibuat selagi di rumah terutama dalam hal membersamai anak-anak. Kalimat indah dari wali kelas “Sekarang semakin berkembang belajarnya, hafalannya makin bagus, ibadahnya, sosialisasinya semakin baik’’ atau pernyataan dari tetangga rumah tentang anak tengah saya “Wah Mas sudah makin lancar bicaranya”. Hal-hal simple tersebut nyatanya sukses menjadi obat penglipur lara.

Hampir satu tahun berlalu, saya memutuskan untuk mencoba mencari pekerjaan lagi. “Pucuk di Cinta Ulam pun Tiba”, layaknya peribahasa tersebut. Allah sepertinya memberikan jalan keluar dari kesulitan yang saya alami. Singkat cerita, saya diterima menjadi seorang dosen PNS di sebuah universitas negeri di Kota Bandung. Ya! Alhamdulillaah, jauh lebih indah dari apa yang saya harapkan. Maka sangat tepat apa yang RA Kartini katakana ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Kira-kira itulah jalan kisah hidup saya di usia 32 tahun. Merencanakan kehamilan kedua, lalu lahir anak kedua dan bonus anak ketiga, diberi kesempatan istirahat bermain sepuasnya dengan keluarga, lalu kembali diberi amanah menjadi tenaga pendidik.

Melihat cara pandang manusia terhadap suatu masalah, ternyata ada juga kalam Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 216 yang perlu untuk menjadi pengingat. Bahwasanya “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” Tuhan adalah sebaik-baiknya perencana. Hanya Ia yang mengetahui apa yang terbaik bagi umatNya. Maka ketika diberi masalah, ingatlah bahwa Tuhan sedang menguji iman dan mempersiapkan kita untuk menjadi umat yang lebih baik lagi. Cukup percayakan yang terbaik pada Tuhan Sang Perencana Terindah.

 

Pengumuman Kelulusan Tes CPNS 2023
(https://daftar-sscasn.bkn.go.id/resume)

 

Comments

Popular posts from this blog

Makan Tongseng Kambing di Sate Kambing Pak Mien Ujung Berung, Bandung

Ada Apa di Taman Pintar Jogja?

"Ayo Perosotan Mi!"